Jumat, 05 Juni 2009

Antara Cita-cita Bermartabat dan Murtad Kekuasaan
Capres dan cawapres telah dan akan terus menjajakan komoditi-komoditi politiknya. Kemiskinan, pengangguran, segenap persoalan bangsa telah menjadi komoditi super mereka, 'wajah-wajah' Indonesia yang terbentang di hamparan kota dan desa yang selama ini diteropong dengan lensa 'minor' oleh kekuasaan kini dikemas dengan rapi, molek, dan cantik mendadak 'bintang' menjelang Pilpres di televisi, radio, billboard, spanduk, brosur, buku, dll. Seakan panorama penyakit bangsa yang selama ini menghiasi peta keterpurukan dan ketertinggalan Indonesia adalah jajanan musiman yang dijual di stand-stand demokrasi bangsa untukdi beli rakyat Indonesia di pilpres nanti. Jargon pun berjejer membungkus komoditi tersebut tampil di ruang-ruang publik, berharap akan mampu menghipnotis kembali urat syaraf masyarakat Indonesia setelah sekian puluh kali rakyat membelinya dengan kepercayaan dan keyakinan.
Meski ternyata apa yang dibeli rakyat selama ini belum menjadi darah daging sepenuhnya dalam tubuh rakyat untuk membentuk tubuh yang sehat, cerdas, merdeka, menpadapatkan keadilan, berspirit, dan punya masa depan yang cerah sesuai dengan hak dan kewajibannya baik selaku individu warga negara maupun selaku individu yang dilindungi negara. Data statistik penguasa dan persepsi para pengamat tengkulak, dijampi untuk membentuk paradigma rakyat kalau kita telah mengalami kemajuan, kemiskinan berkurang, pengangguran berkurang, dll walau dibalik itu fenomena semakin menjadi-jadi, rakyat terkapar kelaparan, busung lapar, gizi buruk, pengangguran massa, pendapatan menurun, keseimbangan hidup layak makin terancam.
Tapi, kita lupakan saja, kita tolerir saja, kita maklumi saja, kita biarkan saja, itu adalah kehendak alam walau bukan kehendak Tuhan. Tidak mungkin semua harus sejahtera, miskin itu juga harus dipelihara, bukankah bila yang kaya banyak yang miskin juga harus banyak sebagai wujud masih berlakunya hukum 'keseimbangan' rimba alam, bukankah bila pangsa pasar untuk dijadikan korban memberi peluang besar, perkembangan dan kekuatan 'perampok' juga harus ditingkatkan dan dikembangkan, aturan main pun harus semakin rapi, jangan sempat terbaca, bahkan harus bisa diciptakan mereka tidak sadar di rampok dan merasakan mereka dalam kenikmatan semu. Gemuruh anak negeri yang miskin, stres, dan pesimis akan masa depan dari pangkuan peritiwi, baik di kota maupun di desa, pa lagi di pesisir yang masih jauh dari komitment tulus para penguasa negeri.
Kini mereka kembali lagi dihipnotis untuk membeli jajanan yang disuguhkan para capres-cawapres yang selama ini dinilai menjadi bagian terpenting dari kawanan aktor 'perampok' hak azasi mereka (rakyat) yang miskin baik sebagai manusia maupun sebagai warga negara, rakyat hanya bisa mempelototi hamparan luas laut, tambang-tambang berdiri, sawah membentang luas, sawit jutaan hektar, pabrik-pabrik menjamur, dll tapi tidak turut menikmati kecuali mungkin dalam membentuk pembodohan dari yang seharusnya mereka miliki.
Meski demikian pula, ternyata rakyat belum bosan untuk membeli, cara 'evolusi' dan lebih damai menjadi pilihan walau kondisi pesakitan, jalan revolusi di zaman ini sudah menjadi sebuah yang sangat utopia karena mereka juga sudah sangat rentan dan menjadi korban kebuasan paradigma pragmatisme, juga karena sudah sangat sulit mencari tubuh-tubuh pemberontak untuk bertindak revolusi bila penindasan dan kejahatan makin menjadi dan berjaya. Pilpres 2009 adalah merupakan pentas demokrasi terbesar di Indonesia yang menjadi wadah luapan kesetiaan mereka terhadap harapan untuk yang lebih baik dan ketidak bosanan mereka untuk membeli jajanan yang paling menjanjikan akan memberi 'gizi' dan energi bagi tubuh-tubuh mereka yang kurus, kering, dekil untuk bertahan hidup di tengah kegetiran menghadapi tantangan zaman globalisasi.
Dengan sengaja atau kebetulan, ternyata 1 diantara jargon yang diusung para capres-cawapres telah menjadi komoditi sekaligus janji politik yang dijajakan para kontestan yaitu menjadi bangsa yang bermartabat.
Bermartabat memang tidak tercantum dalam teks palsafah Pancasila sebagai referensi dasar membangun dan menciptakan tatanan cita-cita bangsa. Namun tatanan ini secara kontekstual merupakan goal sebagai satu kesatuan dari tujuan yang tertera dalam landasan falsafah dan tujuan kebangsaan yang didambakan semua rakyat Indonesia. Dan wujud bermartabat dapat hadir seutuhnya bila jalan menuju ke sana dilalui sesuai dengan kehendaknya.
Namun apa yang terjadi dalam fakta perjalanan republik ini, berulangkali sudah janji luhur ini menghiasi hasrat poloitik para politikus negeri ini dalam mengisi genta-genta demokrasi. Rakyat pun seakan lupa akan jejak rekam perjalanan sang calon dan tidak mampu lagi membentuk daya nalar yang kuat untuk menentukan pemimpin demi masa depan. Kata-kata bermartabat yang dibungkus itu pun turut memperkuat harapan masyarakat Indonesia.
Politikus setelah duduk di tahta kekuasaan, cita-cita nasionalisme pun dilupakan. Penguasa kerap melakukan pelanggaran konstitusional dalam kekuasaannya dengan mengingkari apa yang dikehendaki konstitusi dan palsafah negara. Sehingga sangat wajar sekali bila kita membaca dan mengevaluasi komitment para politikus bangsa ini adalah antara cita-cita bermartabat dan murtad kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar